
Rokok kretek merupakan produk sigaret asli Indonesia. Berbeda dengan rokok putih yang menonjolkan rasa tembakau, jenis yang satu ini menawarkan sensasi manis dan harum rempah karena dicampur cengkih. Tahukah Anda bagaimana sigaret ini diciptakan? Serta bagaimana perkembangannya industrinya di Indonesia? Simak info lengkap tentang kretek di artikel ini.
Rokok kretek adalah salah satu jenis sigaret yang dibuat pertama kali di Indonesia. Berbeda dengan sigaret pada umumnya, kretek menggunakan campuran cengkih, sehingga sering juga disebut clove cigarette. Campuran cengkih dan tembakau menghasilkan rasa yang cenderung manis dan beraroma kuat.
Menurut data world bank tahun 2016, Indonesia menjadi negara keenam dalam jejeran negara perokok terbanyak. Di antara jenis-jenis rokok yang ada di pasaran, kretek filter menjadi yang paling banyak dikonsumsi.
Tingginya penikmat olahan tembakau ini disebabkan oleh kebiasaan yang telah mengakar. Selain itu, banyaknya varian produk yang tersedia di pasaran, membuat para perokok mudah menemukan sigaret ini di toko kelontong atau mini market. Harga sigaret di Indonesia pun cenderung murah dan dapat dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat.
Apa Anda salah satu penikmat olahan tembakau dan cengkih ini? Jika iya, sudahkah Anda tahu bagaimana sejarahnya, apa saja yang biasa menjadi campurannya dan apa dampaknya bagi kesehatan? Simak info selengkapnya di artikel ini.
Sejarah Rokok Kretek
Sumber: Wikimedia Commons
Kretek atau rokok cengkih merupakan salah satu produk asli Indonesia yang sudah ada sejak lama. Tahukah Anda bagaimana awal mula lahirnya sigaret ini? Lalu bagaimana kretek bisa berkembang menjadi sebuah industri besar?
1. Penemu Kretek
Sejarah merokok tembakau di Indonesia dan terciptanya kretek cukup simpang siur. Tapi dari relief Candi Borobudur, tanaman tembakau diperkirakan telah dikenal dan dikonsumsi masyarakat Indonesia sejak abad ke-8.
Kebiasaan merokok sendiri diperkirakan telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam di akhir 1500-an. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa Sultan Agung atau Panembahan Senopati memiliki kebiasaan merokok. Hanya saja, tidak diceritakan dengan jelas apakah ia hanya membakar tembakau atau dengan campuran lain.
Sejarawan Ong Hok Ham menuliskan dalam buku berjudul Hikayat Kretek bahwa rokok kretek diperkirakan telah ada sejak 1880-an. Tapi pada saat itu, produk ini belum memiliki merek dagang.
Dalam Kudus dan Sejarah Rokok Kretek, Solihin Salam menyebutkan, “Orang-orang Indonesia pada masa itu mempunyai suatu kebiasaan untuk menggulung rokoknya sendiri, dengan cara yang amat sederhana susunan maupun bentuknya. Oleh sebab itu rokok bagi penduduk asli di Indonesia zaman itu belum merupakan dagangan yang menarik. Sesudah adanya usaha untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkeh, damar, dan akar-akar wangi, bentuk kesederhanaan rokok itu mulai beralih ke arah barang dagangan yang lebih berarti dan menguntungkan.”
Beberapa sejarawan sepakat bahwa orang yang pertama kali mengenalkan rokok campuran cengkih ini adalah Haji Djamhari. Diceritakan bahwa beliau awalnya memiliki sakit dada dan biasa mengobati sakitnya dengan minyak cengkih.
Ia pun mencoba bereksperimen dan mencampurkan minyak tersebut dengan tembakau. Lama-kelamaan, ia tidak melumuri minyak tapi mencampur cengkih kering dalam lintingan rokoknya. Kebiasaan tersebut ditiru dan disukai oleh warga Kudus.
Tapi salah satu cucu Nitisemito, Nursjirwan Soemadji, membantah hal tersebut. Ia mengklaim bahwa nama Djamhari dimunculkan oleh pabrik-pabrik pesaing Tjap Bal Tiga agar tak perlu membayar royalti.
Memang, cukup sulit membuktikan keberadaan Djamhari. Beberapa orang juga percaya bahwa penemu rokok ini adalah Mbok Nasilah, istri Nitisemito sang pendiri Tjap Bal Tiga. Berawal dari kejengkelannya dengan kebiasaan kusir yang sering nginang dan membuang sisanya di warungnya. Ia pun menyediakan lintingan tembakau dan cengkih dalam klobot.
2. Perkembangan Industri Rokok Kretek
Merek sigaret dengan campuran cengkih ini pertama kali dipasarkan oleh seorang pengusaha Kudus bernama Nitisemito pada 1913. Merek sigaret linting tangan buatannya awalnya diberi nama Kodok Mangan Ulo, artinya katak memakan ular.
Tak lama ia pun mengubah nama mereknya menjadi Tjap Soempil, lalu Tjap Djeroek, hingga terakhir Tjap Bal Tiga pada 1916. Hal ini dilakukannya karena merasa nama merek sebelumnya tidak membawa untung. Sejak bernama Tjap Bal Tiga, sigaret buatan Nitisemito perlahan-lahan mulai populer di pasaran.
Setelah itu, kompetitor Tjap Bal Tiga bermunculan di Kudus. Beberapa merek lain yang muncul saat itu adalah Tjap Goenoeng Kedoe milik Atmowidjojo, Delima milik H. M. Muslich, Djangkar milik Ali Asikin, dan Trio milik Tjoa Khang Hay.
Pada 1938, pabrik milik Nitisemito ini diperkirakan menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia. Sayangnya, pada saat Jepang masuk pada 1942, banyak aset Tjap Bal Tiga yang dirampas. Ditambah lagi persaingan semakin ketat dengan kemunculan banyak pabrik rokok lain pascakemerdekaan seperti Djarum, Nojorono, Djamboe Bol, dan Sukun. Tjap Bal Tiga pun bangkrut pada tahun 1955.
Perkembangan industri tidak hanya terjadi di Kudus, banyak pengusaha lain yang membuka pabrik di Jawa Timur, misalnya Bentoel dan Sampoerna. Pada 1960, Sampoerna menjadi yang pertama kali mendatangkan mesin linting. Langkah itu kemudian diikuti pabrik-pabrik lainnya seperti Bentoel dan Djarum.
Kedatangan mesin linting ini perlahan menggeser produk rokok kretek buatan tangan dan tanpa filter di pasaran. Merek-merek seperti Djarum Super, Gudang Garam Filter, Bentoel, Lodjie, dan Sukun lebih banyak diminati. Selain itu muncul juga jenis sigaret kretek mesin yang rendah nikotin.
Produk-produk sigaret kretek mesin filter juga terus berinovasi. Mulai dari menambahkan rasa menthol, mengubah teknologi filter, menggunakan fine cut, hingga menambahkan kapsul rasa. Pada 2019, pangsa pasar rokok di Indonesia telah dikuasai oleh produk-produk sigaret kretek.
Beragam Campuran Rokok Kretek
Campuran rempah yang biasa disebut wur, merupakan faktor yang membedakan kretek dengan rokok biasa. Tiap perusahaan sigaret yang produknya Anda nikmati memiliki resep rahasia untuk wur atau taburan rempah masing-masing. Tidak hanya wur, resep pembuatan saus masing-masing merek pun berbeda-beda.
Tidak ada yang tahu rahasia perusahaan ini selain sang peracik. Tapi jika Anda ingin tahu bahan yang biasa dijadikan campuran tembakau kretek, berikut bahan-bahannya.
1. Cengkih
Sumber: Wikimedia Commons
Cengkih merupakan rempah yang paling sering ada di rokok kretek. Selain untuk bahan baku sigaret, tanaman ini biasanya digunakan untuk bumbu masak, diolah menjadi wewangian, dan minyak oles. Cengkih memiliki yang pahit pedas, tapi aromanya manis dan kuat.
2. Kemenyan
Sumber: Wikimedia Commons
Kemenyan merupakan getah dari tanaman Styrax yang dikeringkan hingga mengkristal. Getah ini sejak lama telah digunakan masyarakat untuk membuat obat-obatan, pengharum, dan kosmetik. Kemenyan memiliki aroma wangi yang manis sehingga cocok jika dicampur dengan tembakau.
3. Klembak
Seperti kemenyan, klembak juga merupakan tanaman obat yang memiliki aroma harum. Dalam campuran rokok kretek, bagian klembak yang digunakan adalah akarnya. Meski sudah tidak beredar, dahulu rokok siong atau Klembak Menyan cukup disukai masyarakat.
4. Kapulaga
Sumber: Wikimedia Commons
Kapulaga merupakan rempah yang lazim digunakan untuk masakan, obat, dan jamu. Kapulaga dipercaya bermanfaat untuk meredakan sakit tenggorokan dan juga gusi bengkak. Rempah ini biasanya dicacah kecil atau dijadikan bahan baku saus rokok kretek.
5. Adas
Adas dibudidayakan sebagai tanaman obat dan biasa digunakan sebagai bumbu masak. Rasanya sedikit pedas tapi memiliki aroma wangi yang khas. Adas memberikan rasa hangat bagi tubuh saat dikonsumsi. Biasanya tanaman ini dijadikan bahan saus.
6. Kemukus
Sumber: Wikimedia Commons
Kemukus merupakan tumbuhan yang masih satu keluarga dengan sirih. Bagi sebagian masyarakat, buah tanaman ini dikenal sebagai merica buntut. Dalam pengobatan tradisional, tanaman ini dipercaya dapat meredakan sesak nafas.
Daerah Penghasil Kretek Indonesia
Sebagai negara dengan konsumsi sigaret yang tinggi, Indonesia justru terus mengalami penurunan produksi dari tahun ke tahun. Hingga 2019, pabrik sigaret yang tersebar di seluruh Indonesia hanya sekitar 400-an pabrik di berbagai daerah.
1. Kudus
Sumber: Instagram – anggerfoto
Kudus bukan hanya merupakan tempat lahir, tapi juga daerah penghasil rokok kretek yang terbesar di Indonesia. Setelah Nitisemito, ada banyak pabrik sigaret besar lain yang lahir di kota ini. Misalnya Djambu Bol, Nojorono, Sukun, Djarum, dan masih banyak lagi. Hingga 2019, terhitung ada 57 pabrik yang terdapat di kabupaten ini.
2. Kediri
Kediri merupakan rumah dari salah satu perusahaan sigaret besar Indonesia, PT Gudang Garam. Di Kediri. terdapat lebih dari tujuh belas pabrik sigaret yang beroperasi. Merek-merek yang dihasilkan di kota ini di antaranya adalah Gudang Garam, Sampoerna, dan Apache.
3. Surabaya
Sumber: Instagram – ivanramaregulus
Jika Anda belum tahu, dari 2008 hingga 2019 Sampoerna menjadi perusahaan sigaret yang merajai pangsa pasar rokok Indonesia. Perusahaan tersebut bermarkas di Surabaya. Tapi tidak hanya Sampoerna, di kota ini juga terdapat pabrik-pabrik milik Gudang Garam, Wismilak, Bentoel, dan Djarum. Kira-kira lebih dari dua puluh pabrik rokok dengan berbagai golongan terdapat di sini.
4. Malang
Sumber: Instagram – boss_ipank
Malang merupakan tempat lahirnya salah satu pabrik sigaret besar di Indonesia, PT Bentoel. Di kota ini terdapat lebih dari dua puluh produsen sigaret yang didominasi oleh pabrik skala menengah. Pabrik-pabrik ini juga tersebar ke kota-kota sekitar Malang, seperti Blitar dan Tulungagung.
5. Majalengka
Majalengka mungkin kurang terkenal sebagai penghasil rokok karena bukan tempat lahirnya perusahaan sigaret besar. Walau kurang terkenal, ada belasan pabrik rokok yang tersebar dari tempat ini hingga Cirebon. Pabrik-pabrik yang ada di daerah ini rata-rata milik Sampoerna, Apache, dan Djarum.
Tantangan Industri Rokok Kretek Indonesia
Seiring perkembangan zaman, persaingan dan regulasi tembakau semakin ketat. Industri sigaret kretek menemui banyak masalah, mulai dari dalam negeri hingga dari luar negeri.
1. Larangan Masuk ke Beberapa Negara
Pada awal 2010, Amerika Serikat mengajukan usulan pada WTO untuk melarang rokok berperasa. Selain demi menurunkan jumlah perokok, hal ini dilakukan karena sigaret berperasa dianggap berbahaya bagi kesehatan. Keputusan Amerika Serikat ini pun didukung oleh beberapa negara termasuk tetangga Indonesia, Singapura.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, mereka pun mengajukan keberatan terhadap usulan tersebut atas desakan masyarakat. Pada 2012, usulan Amerika Serikat di atas ditolak oleh WTO atas pertimbangan kesejahteraan ekonomi. Baik Amerika Serikat dan Indonesia pun setuju untuk mengakhiri masalah ini.
Tapi meski larangan ekspor tidak jadi diberlakukan, tiap negara bebas mengatur aturan merokok di negaranya. Hingga 2019, sekitar dua puluh empat negara telah memberlakukan larangan merokok total dan terbatas di properti pribadi, sehingga pangsa pasar sigaret dunia menurun dari tahun ke tahun.
2. Penurunan Jumlah Konsumsi Rokok Kretek Tangan
Sumber: Instagram – udinovbotakovkiosk
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pangsa pasar rokok dunia terus menurun. Tapi penurunan perokok tersebut tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, menurut data world bank 2016, angkanya cenderung naik.
Sayangnya, kenaikan perokok tersebut dibarengi dengan penurunan konsumsi rokok kretek tangan. Meski sigaret kretek mesin masih menjadi yang paling banyak dikonsumsi, tapi konsumsi sigaret putih juga perlahan meningkat. Imbasnya, hanya sedikit pilihan produk-produk sigaret kretek tangan yang tersisa di pasaran. Pada 2017, pangsa produk SKT hanya sebesar 18% dari total penjualan.
3. Regulasi Pemerintah Indonesia
Di mata dunia, pemerintah Indonesia dianggap terlalu lembek dalam memerangi perokok karena hanya memberlakukan cukai sekitar 40% dari harga jual. Padahal di Undang-Undang Cukai, tertera bahwa pajak produk tembakau dalam negeri dapat dipasang 57% dari harga jual produk.
Indonesia pun menerima banyak desakan dari beberapa negara dan berbagai organisasi anti rokok. Presiden Jokowi dalam kampanyenya pada Maret 2019 pun menyatakan bahwa ia ingin menaikkan tarif cukai tersebut.
Dalam hal iklan, perusahaan sigaret pun diatur oleh pemerintah. Para produsen diwajibkan mencantumkan bahaya kesehatan dan larangan merokok pada iklan cetak. Untuk iklan di media elektronik, mereka juga tak boleh menampilkan produknya dan adegan merokok.
Dampak Kesehatan Rokok Kretek
Seperti layaknya produk olahan tembakau lain, kretek mengandung nikotin dan tar. Bedanya, kandungan zat tersebut dalam sebatang kretek jauh lebih besar dari rokok putih.
Kandungan nikotin dalam sebatang sigaret kretek tangan sekitar 2,3 mg sementara tar-nya 33 sampai 39 mg. Untuk sigaret kretek mesin, nikotinnya sebanyak 1,8 sampai 2,5 mg sementara tar-nya 32 hingga 39 mg. Untuk kretek mild, nikotinnya sekitar 1 mg dan tar-nya 13 hingga 15 mg per batang. Angka tersebut masih lebih tinggi jika dibanding sigaret putih yang hanya mengandung 0,5 sampai 1 mg nikotin dan 13 mg tar.
Nikotin bersifat adiktif meski tidak terbukti berbahaya bagi tubuh. Sementara itu, tar merupakan zat yang bersifat karsinogenik atau pemicu kanker. Karena itu, perokok kretek memiliki risiko kanker yang lebih besar dibanding perokok putih.
Apakah Menurut Anda Rokok Kretek Pantas Dijadikan Kebudayaan?
Demikian pembahasan tentang rokok kretek, semoga tidak hanya menghibur tapi juga memperluas wawasan Anda. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, rokok kretek merupakan olahan yang telah ada di Indonesia sejak lama. Devisa negara yang diberikan sektor industri ini pun sangat besar.
Karena kontribusi yang besar bagi negara beberapa orang mengajukan RUU agar kretek dijadikan warisan budaya. Hal tersebut membuat pro kontra di kalangan masyarakat. Setelah membaca artikel di atas, apakah menurut Anda sigaret yang satu ini pantas menjadi budaya Indonesia?
Jika Anda setuju, sayang sekali sebab usulan tersebut telah ditolak pada tahun 2015. Selain alasan utamanya karena dampak kesehatan yang buruk, pemerintah Indonesia juga mendapat tekanan dari negara lain. Meski begitu, banyak komunitas kretek yang masih mengkampanyekan dan memperjuangkan agar RUU tersebut disetujui pemerintah.